Jurnalis Tak Memiliki Klien Pribadi

oleh agoes widhartono

PADA dasarnya, seorang jurnalis bekerja dengan dua hal, yakni teknik dan etika. Artinya, seseorang yang berprofesi sebagai jurnalis haruslah mampu mengejawantahkan profesinya itu melalui keterampilan. Yakni kemampuan teknikalitas: menulis, memotret, mewawancarai dan sebagainya). Kemudian diiringi dengan landasan etik yang dia miliki sebagai tuntutan perilaku.

Sedangkan kode etik sebagai norma yang berasal dari suatu komunitas profesional, digunakan sebagai acuan nilai bagi pelaku profesi. Nilai itu penting dan sangat diperlukan, terutama dalam memelihara keberadaan profesi di tengah masyarakat.

Lantas, bagaimana ketika kondisi ideal di atas dihadapkan dengan realitas empirik di tengah masyarakat? Sampai sekarang masih sering muncul berita tentang seseorang yang mengaku sebagai oknum wartawan meminta uang kepada sejumlah orang atau pejabat. Misalnya seperti dilansir Inews.id, (18 September 2025, 15.04 WiB) Tempo.Co (12 September 25 Juli/25/17.06 WIB, Tribrata News (4 Juli 25), untuk sekadar contoh. Beberapa kasus dalam pewartaan di media itu itu adalah tentang tindak pemerasan yang dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai jurnalis.

Demikianlah, kiranya praktek catut mencatut nama jurnalis masih dianggap oleh sebagian orang sebagai langkah yang bisa mendatangkan keuntungan pribadi. Cara yang tentu saja tidak legal dan mencoreng organisasi profesi wartawan.

Jurnalis profesional

Berita tentang wartawan gadungan yang menipu di instansi atau perseorangan., sampai sekarang masih terus terjadi di berbagai tempat. Anehnya, meski sudah banyak upaya dilakukan, misalnya, memberitahu masyarakat luas, memberi pemahaman semua pihak tentang tugas dan kewajiban seorang jurnalis, toh masih saja jatuh korban. Bahkan, tak sedikit para pejabat yang jadi korban, karena diperdayai oleh si gadungan itu.

Kiranya perlu kembali menengok tentang apa dan bagaimana semestinya seorang yang berprofesi sebagai jurnalis berperilaku, dengan kode etik yang dimiliknya. Kode etik profesi akan menjadikan person pelaku profesi tetap memiliki orientasi sosial dan lebih jauh akan membentuk citra sosial atas komunitas profesionalnya. Kalau hanya ingin disegani apalagi ditakuti, tidak perlu kode etik. Cukup dengan kekuasaan dan kekuatan fisik. Seorang pelaku profesi dapat dibedakan deri pekerhja lainnya. Ciri yang terpenting adalah sifat otonomi dari seorang profesional dan kepercayaan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya. (Siregar-2006)

Pada buku Etika Komunikasi (2006 – hal 190), Ashadi Siregar menekankan, bahwa da- lam hal pola kerjanya yang sangat berbeda, tentu saja profesi seorang jurnalis tidaklah bisa sama atau bertujuan agar mempunyai klien pribadi sebagaimana profesi pada bidang kedokteran, misalnya. Seorang jurnalis hanya berurusan dengan narasumber informasinya. Ia bahkan tidak pernah berurusan dengan warga masyarakat yang menerima informasinya. Begitu informasi itu disiarkan oleh media tempatnya bekerja, maka informasi itu sudah menjadi produk media, bukan lagi hasil kerja personal jurnalis. Memang, secara pribadi seorang jurnalis tetap dituntut bertanggung jawab untuk setiap informasi hasil kerjanya, anonim maupun by line. Namun hasil kerja personal itu akan tetap dilihat sebagai bagian yang memnagun citra media.

Hasil kerja seorang jurnalis tidak pernah diberikan langsung kepada khalayak. Informasi, selamanya harus melalui media. Jurnalis tidak pernah menggunakan hasil kerjanya untuk kepentingan prbadi, terlepas dari medianya. Itulah sebabnya seorang jurnalis akan mengharamkan imbalan dari siapa pun atas hasil kerjanya, kecuali dari media yang memuat atau menyiarkan informasinya atau yang mempekerjakannya. Banyak media pers, cetak maupun elektronik, mencantumkan pengumuman tentang hal ini agar khalayak mengerti.

Bagi seorang jurnalis, sekecil apapun imbalan yang disediakan oleh medianya, akan menjadi makanan halal yang akan mengaliri darah pribadi dan keluarganya. Berbeda dengan imbalah yang dia peroleh dari pihak di luar media, yang didapat serasa sebagai hasil dari menjual diri.

Kiranya masyarakat makin waspada,  terutama jika memandang jurnalis secara lengkap dan menyeluruh. Baju profesi jurnalis bisa disandang oleh siapa pun. Demikian pula, ikut organisasi profesi jurnalis, juga bisa dilakukan oleh siapa pun saat ini. Namun, yang lebih penting adalah, bagaimana penghayatan personal seorang jurnalis profesional terhadap profesinya. Itu lebih penting dan harus dibuktikan terus menerus dalam sikap dan perilaku. Jika tidak, orang-orang yang akan memanfaatkan celah dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi, misalnya dengan mengaku sebagai wartawan namun tujuannya hanya memeras demi mendapatkan uang, masih akan selalu terjadi. Sebuah kenyataan pahit yang tentu tidak diharapkan, terutama kalangan jurnalis profesional. (19/9/25)