Media, Nasionalisme dan Generasi Muda
Agoes Widhartono
PERKEMBANGAN teknologi informasi dengan kehadiran internet, munculnya media on line atau new media, diiringi dengan industri perangkat keras dan piranti lunak yang masif, kini menjadi keniscayaan sebagai kebutuhan hidup. Bukan lagi sekadar gaya hidup masyarakat.
Imbas dari semua itu adalah pada kehidupan media mainstream, antara lain penerbitan media cetak. Oplah cenderung terus menurun. Preferensi literasi masyarakat yang sudah berubah, karena lebih memilih menggunakan peralatan dengan teknologi canggih, dituding sebagai penyebab utama. Bahkan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan menteri tentang program 15 menit membaca sebelum pelajaran sekolah dimulai. Ini tentu berkaitan dengan realitas sosial tersebut.
Secara sosiologis, kehadiran manusia kini lebih banyak dinilai sebagai aktivitas di dunia virtual ketimbang perjumpaan langsung di dunia nyata. Interaksi antarmanusia di dunia maya mengabaikan rasa saling menghargai pada sesama yang bisa mewujud dan didapatkan melalui gerak tubuh, gesture, tutur kata, tata krama, subasita dan kehangatan jiwa sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai consumer society itu, kini mewujud dalam kenyataan bahwa masyarakat sekarang bukan hanya mengonsumsi barang untuk kebutuhan biologis, tapi juga konsumsi tanda, sebagai upaya pencitraan. Maka, komunikasi seolah menjadi bebas nilai, tanpa batas wilayah kepantasan maupun etika publik. Media sosial di internet telah menjadi sarana manusia untuk mengekspresikan komunikasi model begini. Ribut, gaduh, riuh, tapi kering nilai, kering apresiasi dan tanpa makna. Khalayak kini dihinggapi kegandrungan untuk asal bisa posting and forwarding segala macam informasi tanpa lebih dulu mempelajari kemanfaatan informasi itu. Maraknya produksi informasi asal-asalan yang tidak dijamin kebenarannya, disebut hoax, juga aneka ujaran kebencian, adalah fenomena sosial seiring dengan kehadiran media sosial itu. Produksi wacana menjadi mampat, hanya ditindas dengan syahwat “asal bisa segera mengunggah dan menyebarkannya” tanpa mempedulikan etika kepublikan.
Indonesia memang sudah menikmati babak baru kebebasan pers, sejak rezim otoriter Orde Baru tumbang pada Mei 1998. Pertanyaannya adalah, apakah dengan demikian pers dan khalayak sudah benar-benar berada dalam posisi linier? Apakah pers sebagai cermin kehidupan sosial masyarakat itu, dalam memproduk informasinya selalu dipandu oleh tuntutan teknis dan etis sekaligus demi menghadirkan informasi berkualitas dan juga sudah mampu menghadirkan makna bagi publik? Jika hal itu terjadi, maka pers telah mengangkat harkat dan martabat dirinya, serta mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang memperoleh produk informasi pers bermutu. Jika memang belum, upaya untuk itu tentu saja diharapkan terus dilakukan oleh para pengelola media pers, kaum profesional di bidang jurnalisme.
Ketaksejajaran posisi, pers sebagai produsen informasi dan masyarakat sebagai konsumen, itulah yang menjadi titik gesek persoalan yang terus diperdebatkan. Sementara di pihak lain, informasi melalui media sosial, diproduksi oleh banyak orang tannpa harus melalui pintu institusi. Bola liar informasi tak terelakkan. Akan halnya bagi jurnalisme, sinergitas antara pers-masyarakat, sampai sejauh ini masih menjadi perdebatan. Meski demikian, harus disadari bahwa informasi yang muncul dalam berbagai media, seiring dengan dinamika masyarakat, merupakan cerminan masyarakat itu sendiri.
Miskin substansi
Tak dapat dimungkiri, produk informasi media saat ini banyak diwarnai oleh sajian yang lebih banyak mengeksploitasi persoalan menyangkut kehidupan privat, ketimbang kehidupan publik. Hal-hal yang remeh-temeh (trivial), lebih dominan disajikan. Fakta yang disajikan lebih memilih unsur menarik, daripada mengetengahkan unsur penting dari fakta itu. Tidak saja muncul dalam tayangan siaran televisi, media on line maupun portal berita, namun juga media cetak. Demi upaya tetap menjaga kehidupan, survive, maka media pers, terutama media cetak, terus mencari peluang di tengah persaingan pasar yang kian ketat. Judul yang banyak dibuat atraktif, dengan kata konotatif atau insinuatif sekalipun, menjadi tidak asing ditemui. Visualisasi pun kadang dibuat dengan vulgar. Unsur sengaja menciptakan sensasi melalui judul –padahal faktanya tidak ada apa-apa- lebih menonjol ketimbang menghadirkan substansi. Sedangkan body text yang disusun compang-camping karena faktor kesegeraan, ditulis dan dikirim ke redaksi langsung dari lokasi peristiwa melalui peralatan canggih, kadang tidak lagi sempat mendapat sentuhan editor demi memelihara akurasi, substansi maupun penalaran. Sekadar menonjolkan unsur menarik dibanding unsur penting atas fakta yang diberitakan itu. Hal macam ini sering muncul pada pelaporan langsung siaran berita televisi, terutama stasiun televisi swasta di Indonesia. Penyampaian fakta yang tidak terstruktur dengan bahasa dan logika yang tidak terjaga, adalah kenyataan yang tidak lagi asing bagi khalayak pemirsa.
Jika demikian yang terjadi, terbuka pertanyaan kritis: seperti apa pers memandang kebebasan pers? Apakah semata dilihat sebagai kesempatan mewartakan apa pun, tanpa sensor? Atau disadari justru ketika sensor sudah tidak ada, maka kesempatan terbaik adalah untuk memberikan pendidikan kepada khalayak atas apa yang semestinya diketahui? Pada hal terakhir inilah yang tidak terjadi di masa ketika rezim pemimpin otoriter menggenggam kebebasan pers di negeri ini, menyembunyikan fakta penting.
Dianggap pesaing
Dalam media online yang berpegang pada prinsip kesegeraan, setiap saat harus selalu memperbarui informasinya (up dating), punya kaidahnya sendiri. Jika tidak, tentu perkembangan media on line, baik portal berita maupun melalui media sosial, menjadi sekadar media dengan keandalan teknologi, tanpa menjejaki makna dan etika. Melihat perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini, seiring dengan kebebasan pers yang diberikan oleh rezim pemerintah, tentu akan sia-sia jika produk pers justru tersembunyi di balik semua itu, karena tidak mampu menghadirkan makna. Media baru memang bukan pesaing media manstream. Tapi masih banyak pendapat keduanya saling bersaing.
Sebenarnya, persoalan penting dalam hal ini sudah tidak lagi pada bagaimana media itu menyampaikan informasi, namun apa yang akan diinformasikan. Ini lebih penting, karena melalui content itulah bisa dilihat, sebuah produk pers yang dihasilkan melalui proses kerja jurnalisme, menjadi informasi yang bermakna atau sekadar numpang lewat dan kehadirannya tak bernilai apa-apa. Sekadar sebagai penggembira dan pemberi semangat dalam lintasan hidup manusia. Tuturan dengan bahasa yang nyinyir, suasana riuh dan gaduh, tapi sejatinya kosong belaka dan tanpa nilai. Maraknya media sosial juga sering disalah-artikan seolah bisa sebagai “pengganti” media mainstream karena kecepatan, keterbukaan dan kebebasan yang dimilikinya. Namun, sesungguhnya media sosial memang bukanlah media jurnalisme yang terikat dalam disiplin besi kaidah keseimbangan antarpihak dan pengecekan demi akurasi. (Siregar-2013).
Tentu saja, banyak cara yang bisa diambil oleh media pers cetak, terutama suratkabar, dalam upaya mempertahankan eksistensinya. Menafsir aktualitas, adalah salah satu cara. Sebab, menjadi pertanyaan jika media pers cetak masih tetap mengandalkan pemahaman bahwa aktualitas adalah sesuatu yang belum diwartakan media bersangkutan. Jika media konvensional lebih dalam lagi menggali, menyisir, kemudian memilah informasi yang tepat bagi khalayaknya, tentu informasinya akan jauh lebih bermakna. Unsur kelengkapan tidak boleh diabaikan. Namun, menerapkan trik guna memberi sesuatu yang lebih kepada khalayak, akan meniadakan kesan bahwa pembaca seolah hanya disuruh mengulang informasi yang sebenarnya sudah diketahui. Selain itu, upaya lain yang bisa ditempuh adalah dengan news analysis pada item-item berita yang dianggap penting. Salah satu cara adalah bisa melalui kehadiran kolom yang ditulis oleh jurnalis yang sudah berpengalaman, di lintas desk-editor. Kehadiran berita melalui fakta keras yang muncul setiap hari, akan lebih berarti jika dimaknai dengan tulisan berisi informasi yang menghasilkan insight bagi khalayak. Dengan demikian bagi institusi media, menafsir ulang soal aktualitas tentu akan menjadi pemikiran yang tidak sederhana.
Memang benar, kebebasan pers tidak akan berarti apa-apa, tanpa pihak pers terus membangun dignity dirinya, dengan tujuan agar produk informasi yang dihasilkan bukan sekadar implementasi terbukanya pintu demokrasi, namun juga berisi representasi masyarakat yang memang sudah lebih “melek” dan membutuhkan berita bermakna.
Generasi baru
Seiring dengan perkembangann dan kemajuan teknologi informasi, tidak pelak lagi telah menghadirkan generasi baru penikmat, konsumen, tapi juga sekaligus produsen informasi. Ini tentu saja menimbulkan problem antargenerasi dalam kehidupan bersama. Tak jarang problem ini merusak relasi bahkan kemajuan dari kehidupan bersama tersebut. Problem tersebut bisa mewujud dengan sikap antara lain generasi senior yang tidak menghargai generasi yang lebih muda. Atau muncul dalam penyikapan dan sinisme pada gerakan yang dibawa oleh generasi muda yang dalam hidupnya, teknologi informasi sudah menjadi keniscayaan.
Sosiolog Karl Manheim telah mensinyalir adanya masalah antargenerasi itu. Menurut dia, perspektif, kesadaran sosial dan pencapaian kedewasaan dari seseorang akan berjalan seiring dengan waktu dan tempat kejadian sejarah dalam era tersebut akan berpengaruh secara signifikan.
Pada perkembangan selanjutnya, setiap generasi akan mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok yang berbeda dengan generasi lainnya. Seperti yang terjadi saat ini, apa yang disebut sebagai generasi milenial, itu sering berpendapat bahwa generasi lama atau generasi sebelumnya adalah orang-orang yang sulit bahkan tidak bisa diajak berkompromi dan berkreasi. Sebaliknya, generasi “tua” atau generasi konvensional yang lahir lebih dulu dibanding generasi milenial, berpendapat bahwa generasi milenial adalah generasi pembangkang dan tidak tahu tata krama.
Generasi milenial sering disebut sebagai generasi Y, dianggap kelanjutan atau anak generasi X. Generasi ini menandai datangnya milenial baru yaitu milenia atau abad ke-21. Maka, penyebutan generasi milenial lebih mudah diterima dan lebih popular daripada nama generasi Y. Nama lain dari generasi milennial ini adalah generasi digital.
Mereka yang digolongkan ke dalam generasi milenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1982-2000. Ada juga yang menggolongkan lahir pada tahun 1988-2009. Generasi milenial lahir dan dibesarkan menikmati kehidupan di dunia ini dalam kondisi kehidupan yang baik. Misalnya, dalam situasi tidak ada perang dunia. Mereka hadir pada masa perang budaya. Generasi ini berperilaku sebagai orang-orang yang haus ilmu, gencar bertanya dan tidak berlebihan jika disebut sebagai generasi kritis dan mempunyai keingintahuan tinggi. Mereka menghadapi perubahan yang cepat dan terus menerus. Sikap dan perilakunya selalu mencari tantangan, mempunyai rencana jangka panjang, optimistik dan menghargai pengalaman pribadi.
Generasi milenial yang sangat terbuka pada pola komunikasi dibanding dengan generasi-generasi sebelumnya. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada penyikapan diri terhadap kesadaran kala mereka berada di tengah kehidupan masyarakat. Betapa tidak. Dibanding generasi sebelumnya, mereka lebih banyak menggunakan waktu di dunia maya, menggunakan media sosial, berselancar di internet dan mengeksplorasi aneka new media. Karena teknologi juga mendukung globalisasi, maka kehidupan generasi milenial sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Ciri khas generasi ini adalah menjadikan teknologi sebagai gaya hidup (lifestyle). Mereka cepat menerima dan mengadopsi informasi. Mereka sudah merasa bosan menggunagan metode belajar gaya ama atau tradisional. Demikian pula dalam soal mendapatkan informasi. Generasi milenial menggunakan gaya belajar yang lebih banyak berbasis indera secara lebih kompleks. Pengerahan indera visual mengiringi keterlibatan indera pendengaran (audio) sekaligus. Interaktif dan cenderung ingin mendapatkan sesuatu dengan instan merupakan salah satu dari ciri generasi milenial. Selain itu, kelemahan yang menonjol adalah cepat merasa bosan. Artinya, generasi milenial tidak lagi akrab dengan cara-cara reflektif untuk mencerna dan memahami persoalan atau informasi yang mereka dapatkan. Ada sikap ketergesaan yang harus segera ditonjolkan. Termasuk di dalamnya adalah kehendak memproduksi informasi yang cenderung hanya berpusat pada kebutuhan sesama mereka (peer group), tapi bukan untuk khalayak secara luas. Kemampuan “membaca” kehidupan, dalam pengertian memahami persoalan sesungguhnya, mudah sirna dengan gaya hidup serentak dan sejenak yang mereka miliki. Dengan demikian, ketika harus memilih informasi pun, yang dilakukan adalah lebih pada mencari sesuatu dengan dorongan mendapatkan segala sesuatu hal yang menarik belaka. Bukan pada substansi yang kemudian bisa mendorong kemampuan demi meningkatkan ketajaman berpikir dan membangun kritisisme. Akibat globalisasi dan posmodernitas, generasi milenial seringkali memandang kebenaran adalah relatif dan tidak mutlak.
Untuk mempertemukan generasi baru dengan generasi sebelumnya, memang tidak mudah. Namun juga tidak bisa dikatakan mustahil. Intinya, yang penting dalam persoalan antargenerasi ini adalah bagaimana menjembatani komunikasi untuk saling memahami dalam konteks nalar alam pikiran dan budaya. Penyesuaian dan modifikasi komunikasi. Selain itu, kedua generasi tersebut mesti berupaya untuk melakukan akomodasi komunikasi, keduanya berusaha menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku dalam merespon orang lain. Dengan demikian akan tercipta komunikasi yang efektif. Jika hal seperti ini dapat terwujud maka generasi X dan generasi milenial akan saling melengkapi kekurangan masing-masing dan menumbuhkan perpaduan yang kuat.
Problem nasionalisme
Pers yang pada tahun-tahun lalu sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi, sekarang entah menjadi pilar yang keberapa. Pers yang sering dipandang sebagai alat untuk memediasi fakta atas nama publik kini kian problematik, atau bahkan usah (Kovach-Rosenstiel 2012). Kini ada banyak kanal penghubung sumber berita dan publik. Pers hanya salah satu.
Sementara itu, lahirnya media baru, new media, adalah istilah yang dimaksudkan untuk mencakup kemunculan digital, komputer, atau jaringan teknologi informasi dan komunikasi di akhir abad ke-20. Sebagian besar teknologi yang digambarkan sebagai media baru adalah digital, seringkali memiliki karakteristik dapat dimanipulasi, bersifat jaringan, padat, mampat, interaktif dan tidak memihak. Secara sederhana media baru adalah media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer dan internet secara khususnya. Termasuk di dalamnya adalah web, blog, media sosial, online forum dan lain-lain yang menggunakan komputer sebagai medianya.
Secara umum dipahami, nasionalisme adalah adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional. Nasionalisme juga rasa ingin mempertahankan negaranya, baik internal maupun eksternal.
Lantas, apa dan bagaimana kaitan generasi muda dengan new media dan nasionalisme? Ketika situasi saat ini demikian gaduh, tak banyak yang bisa dilakukan oleh media mainstream selain mengikuti apa yang terjadi pada media baru. Kesahihan media mainstream sebagai satu-satunya mediator fakta publik dengan khalayak, kini terus tergerus dengan hadirnya media baru. Kemudian, ketika khalayak kini bisa menginginkan konten informasi, mereka mendapatkan melalui new media dengan sangat mudah. Adalah generasi muda, generasi milenial atau generasi Y inilah yang kini menjadi konsumen, sekaligus pengguna dan produsen informasi melalui new media. Dengan kecenderungan sikap dan perilaku yang jauh dari upaya “mengolah lebih dulu-memahami kemudian” pada setiap informasi yang mereka dapatkan, tentu saja akan berpengaruh pada hal-hal penting yang diputuskan termasuk pada penghayatan atas nasionalisme sebagai warga bangsa. Sikap dan mental serba instan, menghendaki kesegeraan dan menihilkan penghayatan pemikiran, tak kecil kemungkinan mengikis penghayatan atas rasa kebangsaan. Di manakah relevansi kebangsaan dengan media massa, khususnya di Indonesia?
Yang perlu diihat adalah bagaimana kedudukan media massa sebagai piranti komunikasi dalam masyarakat. Komunikasi secara umum dikenal dalam dua dunia, yakni arus atas berupa komunikasi massa dan arus bawah berupa komunikasi sosial. Komunikasi massa adalah kegiatan oleh komunikator bersifat institusional, berlangsung dengan penggunaan piranti media massa. Sedangkan komunikasi sosial berupa komunikator bersifat personal dengan media yang berlangsung dalam interaksi sosial (media sosial, masuk dalam term new media). Teknologi merupakan ekstensi manusia,maka kemajuannya berimbas pula pada cara berkomunikasi, baik dalam arus atas maupun bawa. Kini media sosial berbasis teknologi internet marak dalamkehidupan masyarakat (Siregar-2017). Bisa jadi muncul pertanyaan, budaya kebangsaan atau nasionalisme saat ini di dalam era globalisasi saat ini, merupakan kajian yang terasa asing karena sudah demikian canggih penggunaan teknologi dan perkembanganilmu pengetahuan. Batas-batas negara pun menjadi kabur. Dengan demikian ketika harus mendahulukan kepentingan negara dan bangsa daripada kepentingan pribadi atau kelompok, bisa jadi hanya tinggal dan berada dalam angan-angan dan menjadi jargon tanpa aplikasi. Hal itu bisa disaksikan dengan maraknya aneka berita bohong (hoax), berita tanpa fakta dan aneka kebohongan yang terus diproduksi melalui media sosial. Bukankah kini setiap orang, siapa pun mereka, bisa menjadi produsen informasi tanpa harus melalui pintu insititusi verifikasi fakta?
Media massa mainstream, dikenal sebagai penyampai informasi berupa informasi faktual, komersial dan fiksional. Sedangkan media baru dengan segala platform-nya itu, lahir atas dasar keinginan, kebutuhan dan kehendak setiap orang yang menggunakannya. Artinya, informasi yang disiarkan bisa jadi tidaklah berdasarkan kebutuhan khalayak, namun dirilis atas sekehendak hati pembuatnya. Tidak ada sifat resiprokal dalam informasi jenis ini. Artinya, siapa pun bisa mendapatkan, menyiarkan, menikmati atau tidak menikmati. Hyperlink yang ditandai dengan semangat terus menerus untuk melakukan searching, adalah nafas dalam media baru. Berbeda dengan konvensi dalam media massa mainstream yang selalu dengan penuh kesadaran ingin menyajikan informasi sesuai tuntutan khalayaknya.
Sinergitas antara pers-masyarakat, sampai sejauh ini tentu masih menjadi perdebatan. Meski demikian, harus disadari bahwa informasi yang muncul dalam berbagai media, seiring dengan dinamika masyarakat, merupakan cerminan masyarakat. (***)