BHOMA-PRITHA

Cerpen: Ons Untoro

Langit begitu jauh. Hanya bisa dipandang. Seringkali awan bergerak, bukan hendak menutupi langit, melainkan memberi tanda ada kehidupan yang tidak dikenal disana. Malam membungkus langit, semakin terasa jauh tak tersentuh. Kerlap-kerlip bintang, memberikan isyarat kehidupan tidak lenyap dari sana.

Khayangan, nama untuk menyebut tempat yang jauh tak tersentuh. Tempat Dewa-Dewa bersemanyam. Ketika Dewa hendak turun ke bumi, Ia menjelma mejadi makhluk yang dikenali. Dalam kisah yang telah dikenal, Dewa Wisnu menjelma menjadi makhluk yang bisa dikenali dan karena terpikat pada Dewi Bumi, keduanya bersenggama, laiknya suami istri.

Putra yang lahir dari keduanya dikenal dengan nama Naraka. Tetapi karena ibunya Dewi Bumi, ia dikenal dengan nama Bhoma. Ia sangat sakti. Bisa menghidupkan orang yang sudah mati dan Bhoma tidak bisa mati ketika tubuhnya menyentuh bumi. Bunga Wijayamala, pemberian ibunya, adalah kesaktian yang dimiliki.

Bunga Wijayamala tidak pernah lepas dari tangan Bhoma. Kemana kaki melangkah bunga itu menyertai. Ia dan bunga itu bagaikan pikiran dan hati. Bhoma adalah hati dan bunga Wijayamala adalah Pikiran. Keduanya menyatu dalam satu langkah. Dimana ada Bhoma pastilah ditemukan bunga Wijayamala.

Tapi kaki Bhoma seperti tidak menapak tanah. Setiap kali melangkah, beban bunga Wijayamala seperti menyeret untuk tidak mengenali bumi, ibunya sendiri.

Bhoma gelisah meski bisa hidup sepanjang abad.

“ Untuk siapa sesungguhnya aku hidup?” keluh Bhoma sambil menjelajani jagat raya.

Diatas samudra Bhoma melihat kehidupan yang lain, namun ia tidak bisa singgah di sana. Bhoma memandangi samudra nan luas sambil membayangkan kehidupan kelak, tapi bukan untuk dirinya.

“Aku mesti mengenali ibuku sendiri” Bhoma berkata pada dirinya sendiri sambil terus melangkah.

Bhoma tahu, untuk mengenali ibunya sendiri dia perlu orang lain, namun hingga kini belum menemukan siapa orang lain itu.

“Oh, dewata. Kemana aku harus berhenti untuk bertemu yang bisa menunjukkan ibuku sendiri” suara Bhoma seperti menyibak langit.

***

Gadis kecil, Pritha namanya. Jejak masa lalunya dari wangsa Yadawa. Wajahnya cantik jelita. Bagaikan bulan. Indah dipandang. Ia memiliki kebajikan yang mengagumkan. Ayah Pritha iba pada sepupunya yang tidak memiliki anak. Pritha diserahkan pada Kuntiboja, sepupu ayahnya, untuk menjadi anak angkat. Nama Pritha kemudian mengikuti ayah angkatnya. Maka dikenalah ia bernama Kunti.

Sebagai gadis, ia sangat bahagia. Ia sangat setia melayani ayahnya. Santun melayani tamu ayahnya. Di rumah ayahnya, telah lama tinggal seorang Resi. Resi itu, terasa bagai tinggal di rumah sendiri. Pritha, sangat santun dan penuh sopan melayani Resi Durwasa.

Resi Durwasa tidak bisa menyembuyikan rasa kagumnya pada Pritha. Bukan hanya karena kecantikannya, tetapi perilakunya yang baik, penuh santun pada orang lain, membuat Resi terpana. Jejak masa lalu Pritha barangkali mempengaruhi dalam membentuk pribadi dan wataknya.

Rasa kagum Resi Durwasa pada Pritha, membuat Ia tak kuasa untuk tidak memberikan mantra suci. Sang Resi, karena kemampuannya melihat Pritha kelak akan menemui masalah dalam kehidupan bersama suaminya. Ia memberikan mantra suci pada Pritha. Mantra itu bisa untuk memanggil Dewa kapan Pritha memerlukan pertolongan.

Kebajikan yang telah menyatu dalam dirinya. Sopan satun dan rasa hormat terhadap orang lain telah menjadi dasar perilakunya, membuat Pritha tidak menyalahgunakan mantra yang dimikiliknya.

Pritha menyadari. Dirinya adalah perempuan. Mantra yang dimilikinya, bukan untuk dirinya, tetapi untuk kebaikan manusia.

Pritha, sebagai perempuan termangu sambil memandangi mantra suci yang dimiliki. Sesekali, wajah Resi seperti menampakkan. Seolah mengingatkan agar tidak menyalahgunakan mantra.

***

Khayangan tidak lagi nampak. Lagit dan bintang seperti sediakala. Jauh dari pandangan. Bumi semakin dekat. Dewa Matahari yang pernah dipanggil Pritha, memberi hidup pada bumi. Tanpa Matahari bumi dan kehidupan tidak memiliki daya. Bhoma masih terus gelisah, sepanjang abad kehidupan yang dia lalui, ia seperti tidak memiliki keahlian untuk mengurai persoalan kehidupan yang kompleks. Ia bisa menghidupkan yang telah tiada, tetapi tidak bisa mengurai permasalahan yang melilitnya.

Pritha melangkah pelan. Ia menyentuh bumi dan melambaikan tangannya pada Bhoma. Pria itu bergetar, melihat wajah cantik, penuh kebajikan. Sopan dan hormat padanya. Keduanya bertemu, bukan untuk berasyik masyuk. Mereka melangkah, bergandeng tangan Bhoma menjadi banyak. Pritha menjadi berlipat. Mereka berangkulan. Bergerak berirama. Menyatukan mantra suci dengan bunga Wijayamala. Watak dan kebajikan Pritha menjadi dasar dari langkah dan irama mereka.

Bumi dan kehidupan menjadi segar disinari Matahari.

“Kita mesti terus bersatu saling menjaga dan menghidupi” kata Bhoma.

Prita memandang Bhoma sambil tersenyum. Keduanya menuju langit biru sambil tidak melupakan hijau sawah nan menyegarkan. (*)